Setitis air mata seulas senyuman

Takkan kutukar dukacita hatiku demi kebahagiaan khalayak.
Dan, takkan kutumpahkan air mata kesedihan yang mengalir dari tiap bahagian diriku berubah menjadi gelak tawa.
Kuingin diriku tetaplah setitis air mata dan seulas senyuman.
Setitis airmata yang menyucikan hatiku dan memberiku pemahaman rahsia kehidupan dan hal ehwal yang tersembunyi.
Seulas senyuman menarikku dekat kepada putera kesayanganku dan menjelma sebuah lambang pemujaan kepada tuhan.
Setitis airmata meyatukanku dengan mereka yang patah hati;
Seulas senyum menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam kewujudan.
Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan berbanding jika aku hidup menjemukan dan putus asa.
Aku bersedia kelaparan demi cinta dan keindahan yang ada di dasar jiwaku setelah kusaksikan mereka yang dimanjakan amat menyusahkan orang.
Telah kudengar keluhan mereka dalam hasrat kerinduan dan itu lebih manis daripada melodi yang termanis.
Ketika malam tiba bunga menguncupkan kelopak dan tidur, memeluk kerinduannya.
tatkala pagi menghampiri, ia membuka bibirnya demi menyambut ciuman matahari.
Kehidupan sekuntum bunga sama dengan kerinduan dan pengabulan.
Setitis airmata dan seulas senyuman.
Air laut menjadi wap dan naik menjelma menjadi segumpal mega.
Awan terapung di atas pergunungan dan lembah ngarai hingga berjumpa angin sepoi bahasa, jatuh bercucuran ke padang-padang lalu bergabung bersama aliran sungai dan kembali ke laut, rumahnya.Kehidupan awan-gemawan itu adalah sesuatu perpisahan dan pertemuan.
Bagai setitis airmata seulas senyuman.
Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai segumpal mega diatas pergunungan dukacita dan dataran kebahagiaan.
Menuju samudera cinta dan keindahan - kepada Tuhan.

Kesedihan di dalam kesendirian

***
tak ada yang tahu isi hatiku
tak kan pernah ada...
ku tak ingin semua tahu isi hatiku,
hanya cukup aku saja yang tau rasa sakiit
yang slalu ku tutupi dengan tawa..
semua rasa pedih yang slalu ku tutupi dengan senyum
semua rasa dalam hatiku,
hanya aku saja yang rasakan...
ku slalu menahan tangisan yang slalu
dtang menghampiriku dan tak bisa menahan
kekecewaan mendalam yang tak bisa ku hilangkan
dan hapuskan untuk selamanya...
karena itu lah semua rasa pahit
slalu ku balur dan ku tutupi dengan keceriaan
di setiap waktunya..
terus dan terus air mataku terjatuh
dan berlinang membasahi pipiku..
tak kuasa dan tak pernah ada yang tau..
tak kan pernah adda
untuk selamanya....

***
uhmpp... ga nyangka aku bisa membuat serangkaian kataa seperti itu
ini kisah tentang aku, hanya aku sndiri
aku slalu ngiri jika aku melihat teman seusiaku bersenang senang
dengan orang yang ia sayangi
aku sering merasa iri melihat persahabatan mereka begitu erat dan akrab
tidak seperti diriku ini
yang slalu sendiri disaat sedih dan suka
tak ada seorag pun yang mau menemaniku di saat seperti ini
mungkin yang membaca catatanku ini kalian tidak mengira aku begitu sedih seperti ini
karena aku tak mau ada seorang pun yang mengetahui
bukan nya aku seseorang yang tertutup
tapi aku slalu berfikir , mereka hanya akan membuat lebih ruyam
dalam masalahku ini dan mana ada orng yang mau mendengar keluh kesah ku ini
tak ada seorangpun...
memang aku slalu tersenyum , bercanda ria , tertawa
tapi ada satu hal yang kalian ga tau
hati ini kosong , sediri
uhmpp i alonely ha.ha.ha.ha
ku slalu berharap kepadda TUHAN
semoga kau mengirimkan aku seorang sahabat yang slalu menemaniku saat sedih dan suka
hanya itu yang aku ingin kan
agar akuu terbebas dalam kesendirian iini

Puisi Khalil Gibran

Are You In Love With Someone?When you are together with that special someone, you pretend to ignore that person.But when that special someone is not around, you might look around to find them.At that moment, you are in love.Although there is someone else who always makes you laugh,your eyes and attention might go only to that special someone.Then, you are in love.If you are much more excited for one short e-mail fromthat special someone than other many long e-mails,you are in love.When you get a couple of free movie tickets, you wouldnot hesitate to think of that special someone.Then, you are in love.You keep telling yourself, “that special someone is just a friend”, but you realize that you can not avoid that person’s special attraction.At that moment, you are in love.While you are reading this e-mail, if someoneappears in your mind,then u are in love with that person.Love Is Unseenc0b8bc3803e9a4e2Kenapa kita menutup mata ketika kita tidur?ketika kita menangis?ketika kita membayangkan?Ini karena hal terindah di dunia TIDAK TERLIHAT…Ada hal-hal yang tidak ingin kita lepaskan..Ada orang-orang yang tidak ingin kita tinggalkan…Tapi ingatlah…melepaskan BUKAN akhir dari dunia..melainkan awal suatu kehidupan baru..Kebahagiaan ada untuk mereka yang menangis,Mereka yang tersakiti,mereka yang telah mencari…dan mereka yang telah mencoba..Karena MEREKALAH yang bisa menghargaibetapapentingnya orang yang telah menyentuh kehidupanmereka…CINTA yang AGUNGAdalah ketika kamu menitikkan air matadan MASIH peduli terhadapnya..Adalah ketika dia tidak mempedulikanmu dan kamu MASIHmenunggunya dengan setia..Adalah ketika dia mulai mencintai orang laindan kamu MASIH bisa tersenyum sembari berkata ‘Akuturut berbahagia untukmu’Apabila cinta tidak berhasil…BEBASKAN dirimu…Biarkan hatimu kembali melebarkan sayapnyadan terbang ke alam bebas LAGI ..Ingatlah…bahwa kamu mungkin menemukan cinta dankehilangannya..tapi..ketika cinta itu mati..kamu TIDAK perlu matibersamanya…Orang terkuat BUKAN mereka yang selalumenang..MELAINKAN mereka yang tetap tegar ketikamereka jatuhTEMAN SEJATI…mengerti ketika kamu berkata ‘Aku lupa..‘Menunggu selamanyaketika kamu berkata‘Tunggu sebentar’Tetap tinggalketika kamu berkata‘Tinggalkan aku sendiri’Membuka pintumeski kamu BELUM mengetuk dan berkata‘Bolehkah saya masuk?‘MENCINTAI…BUKANlah bagaimana kamu melupakan..melainkan bagaimana kamu MEMAAFKAN..BUKANlah bagaimana kamu mendengarkan..melainkan bagaimana kamu MENGERTI..BUKANlah apa yang kamu lihat..melainkan apa yang kamu RASAKAN..BUKANlah bagaimana kamu melepaskan..melainkan bagaimana kamu BERTAHAN..Lebih berbahaya mencucurkan air mata dalam hati…dibandingkan menangis tersedu2…Air mata yang keluar dapat dihapus..sementara air mata yang tersembunyimenggoreskan luka yang tidak akan pernah hilang..Akan tiba saatnyadi mana kamu harus berhenti mencintai seseorangBUKANkarena orang itu berhenti mencintai kitaMELAINKANkarena kita menyadaribahwa orang itu akan lebih berbahagia,apabila kita melepaskannya.Apabila kamu benar2 mencintai seseorang,jangan lepaskan dia..jangan percaya bahwa melepaskan SELALU berarti kamubenar2 mencintaiMELAINKAN…BERJUANGLAH demi cintamuItulah CINTA SEJATILebih baik menunggu orang yang kamu inginkanDARIPADAberjalan bersama orang ‘yang tersedia’Lebih baik menunggu orang yang kamu cintai DARIPADAorang yang berada di sekelilingmuLebih baik menunggu orang yang tepatkarena hidup ini terlalu singkat untuk dibuanghanya dengan ‘seseorang’:-: CINTA (1) :-:Lalu berkatalah Almitra,Bicaralah pada kami perihal Cinta.Dan dia mengangkatkan kepalanya dan memandang ke arah kumpulan manusia itu,dan keheningan menguasai mereka.Dan dengan suara lantang dia berkata:Pabila cinta memberi isyarat kepadamu, ikutilah dia,Walau jalannya sukar dan curam.Dan pabila sayapnya memelukmu menyerahlah kepadanya.Walau pedang tersembunyi di antara hujung-hujung sayapnya bisa melukaimu.Dan kalau dia berbicara padamu percayalah padanya.Walau suaranya bisa menggetar mimpi-mimpimu bagai angin utara membinasakan taman.Kerana sebagaimana cinta memahkotai engkau,demikian pula dia akan menghukummu.Sebagaimana dia ada untuk menyuburkanmu,demikian pula dia ada untuk mencantasmu.Sebagaimana dia mendaki ke puncakmu dan membelai mesra ranting-ranting lembutmuyang bergetar dalam cahaya matahari.Demikian pula dia akan menghunjam ke akarmu dan menggegarkannya di dalam pautanmu pada bumi.Laksana selonggok jagung dia menghimpun engkau pada dirinya.Dia menghempuk engkau hingga kau telanjangDia mengasing-asingkan kau demi membebaskan engkau dari kulitmu.Dia menggosok-gosok engkau sampai putih bersih.Dia meramas engkau hingga kau menjadi lembut;Dan kemudian dia mengangkat engkau ke api sucinya sehingga engkau bisa menjadi hidangan suci untuk pesta kudus Tuhan.Semua ini akan ditunaikan padamu oleh Sang Cinta,supaya bisa kau fahami rahsia hatimu,dan di dalam pemahaman dia menjadi sekeping hati Kehidupan.Namun pabila dalam ketakutanmu kau hanya akan mencari kedamaian dan kenikmatan cinta.Maka lebih baiklah bagimu untuk menutupi tubuhmu dan melangkah keluar dari lantai-penebah cinta.Memasuki dunia tanpa musim tempat kau dapat tertawa, tapi tak seluruh gelak tawamu,dan menangis, tapi tak sehabis semua airmatamu.Cinta tak memberikan apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa-apa pun kecuali dari dirinya sendiri.Cinta tiada memiliki,pun tiada ingin dimiliki;Kerana cinta telah cukup bagi cinta.Pabila kau mencintai kau takkan berkata, “Tuhan ada di dalam hatiku,” tapi sebaliknya, “Aku berada di dalam hati Tuhan.“Dan jangan mengira kaudapat mengarahkan jalannya Cinta, sebab cinta,pabila dia menilaimu memang pantas,mengarahkan jalanmu.Cinta tak menginginkan yang lain kecuali memenuhi dirinya.Namun pabila kau mencintai dan memerlukan keghairahan,biarlah ini menjadi keghairahanmu:Luluhkan dirimu dan mengalirlah bagaikan anak sungai,yang menyanyikan alunannnya bagai sang malam.Kenalilah penderitaan dari kelembutan yang begitu jauh.Rasa dilukai akibat pemahamanmu sendiri tentang cinta;Dan menitiskan darah dengan ikhlas dan gembira.Terjaga di kala fajar dengan hati berawangan dan mensyukuri hari baru penuh cahaya kasih;Istirah di kala siang dan merenungkan kegembiraan cinta yang meluap-luap;Kembali ke rumah di kala senja dengan rasa syukur;Dan kemudian tidur bersama doa bagi kekasih di dalam hatimu dan sekuntum nyanyian puji-pujian pada bibirmu.(‘Dari Sang Nabi’):+: Khalil Gibran :+::-: CINTA (2) :-:Mereka berkata tentang serigala dan tikusMinum di sungai yang samaDi mana singa melepas dahagaMereka berkata tentang helang dan heringMenjunam paruhnya ke dalam bangkai yg samaDan berdamai – di antara satu sama lain,Dalam kehadiran bangkai – bangkai mati ituOh Cinta, yang tangan lembutnya mengekang keinginankuMeluapkan rasa lapar dan dahagaakan maruah dan kebanggaan,Jangan biarkan nafsu kuat terus mengganggukuMemakan roti dan meminum anggurMenggoda diriku yang lemah iniBiarkan rasa lapar menggigitku,Biarkan rasa haus membakarku,Biarkan aku mati dan binasa,Sebelum kuangkat tangankuUntuk cangkir yang tidak kau isi,Dan mangkuk yang tidak kau berkati(Dari ‘The Forerunner)):+: Kahlil Gibran :+::-: CINTA (3) :-:Kemarin aku berdiri berdekatan pintu gerbang sebuah rumah ibadat dan bertanya kepada manusia yang lalu-lalang di situ tentang misteri dan kesucian cinta.Seorang lelaki setengah baya menghampiri, tubuhnya rapuh wajahnya gelap.Sambil mengeluh dia berkata, “Cinta telah membuat suatu kekuatan menjadi lemah,aku mewarisinya dari Manusia Pertama.“Seorang pemuda dengan tubuh kuat dan besar menghampiri.Dengan suara bagai menyanyi dia berkata,“Cinta adalah sebuah ketetapan hati yang ditumbuhkan dariku,yang rnenghubungkan masa sekarang dengan generasi masa lalu dan generasi yang akan datang.‘Seorang wanita dengan wajah melankolis menghampiri dan sambil mendesah,dia berkata,‘Cinta adalah racun pembunuh,ular hitam berbisa yang menderita di neraka,terbang melayang dan berputar-putar menembusi langit sampai ia jatuh tertutup embun,ia hanya akan diminum oleh roh-roh yang haus.Kemudian mereka akan mabuk untuk beberapa saat,diam selama satu tahun dan mati untuk selamanya.‘Seorang gadis dengan pipi kemerahan menghampiri dan dengan tersenyum dia berkata,“Cinta itu laksana air pancuran yang digunakan roh pengantin sebagai siraman ke dalam roh orang-orang yg kuat,membuat mereka bangkit dalam doa di antara bintang-bintang di malam hari dan senandung pujian di depan matahari di siang hari.‘Setelah itu seorang lelaki menghampiri.Bajunya hitam, janggutnya panjang dengan dahi berkerut,dia berkata,“Cinta adalah ketidakpedulian yang buta.la bermula dari hujung masa muda dan berakhir pada pangkal masa muda.‘Seorang lelaki tampan dengan wajah bersinar dan dengan bahagia berkata,‘Cinta adalah pengetahuan syurgawi yang menyalakan mata kita.Ia menunjukkan segala sesuatu kepada kita seperti para dewa melihatnya.‘Seorang bermata buta menghampiri,sambil mengetuk-ngetukkan tongkatnya ke tanah dan dia kemudian berkata sambil menangis, ‘Cinta adalah kabus tebal yang menyelubungi gambaran sesuatu darinya atau yang membuatnya hanya melihat hantu dari nafsunya yang berkelana di antara batu karang,tuli terhadap suara-suara dari tangisnya sendiri yang bergema di lembah-lembah.‘Seorang pemuda,dengan membawa sebuah gitar menghampiri dan menyanyi,‘Cinta adalah cahaya ghaib yang bersinar dari kedalaman kehidupan yang peka dan mencerahkan segala yang ada di sekitarnya.Engkau bisa melihat dunia bagai sebuah perarakan yang berjalan melewati padang rumput hijau.Kehidupan adalah bagai sebuah mimpi indah yang diangkat dari kesedaran dan kesedaran.‘Seorang lelaki dengan badan bongkok dan kakinya bengkok bagai potongan-potongan kain menghampiri. Dengan suara bergetar,dia berkata,“Cinta adalah istirahat panjang bagi raga di dalam kesunyian makam,kedamaian bagi jiwa dalam kedalaman keabadian.’Seorang anak kecil berumur lima tahun menghampiri dan sambil tertawa dia berkata,“Cinta adalah ayahku,cinta adalah ibuku.Hanya ayah dan ibuku yang mengerti tentang cinta.“Waktu terus berjalan.Manusia terus-menerus melewati rumah ibadat.Masing-masing mempunyai pandangannya tersendiri tentang cinta.Semua menyatakan harapan-harapannya dan mengungkapkan misteri-misteri kehidupannyaKEHIDUPANEngkau dibisiki bahawa hidup adalah kegelapanDan dengan penuh ketakutanEngkau sebarkan apa yang telah dituturkan padamupenuh kebimbanganKuwartakan padamu bahawa hidup adalah kegelapanjika tidak diselimuti oleh kehendakDan segala kehendak akan buta bila tidak diselimuti pengetahuanDan segala macam pengetahuan akan kosongbila tidak diiringi kerjaDan segala kerja hanyalah kehampaankecuali disertai cintaMaka bila engkau bekerja dengan cintaEngkau sesungguhnya tengah menambatkan dirimuDengan wujudnya kamu,wujud manusia lainDan wujud Tuhan.:+: Khalil Gibran :+:PERJAMUAN JIWABANGUNLAH, Cintaku.Bangun!Kerana jiwaku mengalu-alumu dari dasar laut,dan menawarkan padamu sayap-sayap di atas gelombang yang mengamukBangunlah,kerana sunyi telah menghentikan derap kaki kuda dan langkah para pejalan kaki.Rasa kantuk telah memeluk roh setiap laki-laki, sementara aku terbangun sendiri,rasa rindu membukakan kertas surat tidurku.Cinta membawaku dekat denganmu, namun kebimbangan melemparkan diriku menjauh darimu.Aku telah membuang bukuku,kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan tempat tidurku,Cintaku,kerana takut pada hantu lupa yang berada di balik selimut.Aku telah membuang bukuku,kerana keluhku mengunci kata-kata dan desah nafasku meninggalkan halaman buku yang kosong di depan mataku!Bangun,bangunlah,Cintaku dan dengar diriku!Aku mendengarkanmu,Cintaku!Aku mendengar panggilanmu dari lautan lepas dan merasakan lembutnya sentuhan sayapmu. Aku telah jauh dari ranjangku,beranjak ke tanah lapang, hingga embun membasahi kaki dan bajuku.Di sinilah aku berdiri,dibawah bunga-bunga pohon badam,memenuhi panggilan jiwamu.Bicaralah padaku,Cintaku,dan biarkan nafasmu menghirup angin gunung yang datang padaku dari lembah-lembah Lebanon.Bicaralah.Tak ada yang akan mendengar selain diriku.Malam telah melarutkan semua manusia ditempat tidurnya.Syurga telah menyulam cahaya rembulan dan menghamparkannya ke seluruh daratan Lebanon,Cintaku.Syurga telah meriasnya dengan bayangan malam,jubah tebal membentang dihembus asap dari cerobong kain,dihembus nafas kemari, dan mengelarnya di telapak kota,Cintaku.Para penduduk telah pulas menganyam mimpi di ubun-ubunnya di tengah pohon-pohon kenari. Jiwa mereka mempercepatkan langkah mengejar negeri mimpi,Cintaku.Lelaki-lelaki longlai menggendong emas,dan tebing curam yang akan dilalui melemaskan lutut mereka.Mata mereka mengantuk kerana dililit kesulitan dan ketakutan.Mereka melemparkan tubuh ke tempat tidur sebagai tempat berlindung dari hantu-hantu yang menakutkan dan mengerikan,Cintaku.Hantu-hantu dari masa lalu berkeliaran di lembah-lembah.Jiwa para raja melintasi bukit-bukit.Fikiranku yang berhias kenangan menyingkap kekuatan bangsa Chaldea,kemegahan Arab.Di lorong-lorong gelap,jiwa-jiwa pencuri yang tegap berjalan,muncung-muncung nafsu ular berbisa muncul dari celah-celah benteng,dan rasa sakit berdengung kematian,muntah-muntah sepanjang jalan.Kenangan menyingkap tabir kelupaan dari mataku dan nampaklah Sodom yang menjijikkan, serta dosa-dosa Gomorah.Ranting-ranting berayun-ayun,Cintaku,dan desirnya bertemu dengan alunan anak sungai di lembah.Syair-syair Sulaiman,nada kecapi Daud dan lagu Ishak Al-Mausaili terngiang-ngiang di telinga kami.Jiwa anak-anak yang lapar di penginapan menggelupur,ibunya mengeluh di atas kamar kesedihan,dan kekecewaan telah jatuh dari langit.Mimpi-mimpi kebimbangan melanda hati yang lemah.Aku mendengar rintihan pahitnya.Semerbak bunga melambai seiring nafas pohon-pohon cedar.Terbawa angin sepoi-sepoi menuju perbukitan,harum itu mengisi jiwa dengan kasih sayang dan meniupkan kerinduan untuk terbang.Tetapi racun dari rawa-rawa jug berkelana mengepul bersama penyakit.Seperti panah rahsia yang tajam,racun itu telah menembusi perasaan dan meracuni udara.Tanpa kusedari matahari telah mengilaukan cahaya pagi,Cintaku,dan jari-jari timur yang lentik menimang mata-mata orang yang terlelap.Cahaya itu memaksa mereka untuk membuka daun jendela dan menyelak hati dan kemenangan.Desa-desa,yang sedang tertidur dalam damai dan tenang di pundak-pundak lembah,bangun,loceng-loceng berdenting memenuhi angkasa sebagai panggilan untuk mula berdoa.Dan dari gua-gua,gema-gema juga berdengung,seolah-olah seluruh alam sedang berdoa bersama-sama dengan khusyuknya.Anak-anak sapi telah keluar dari kandangnya,biri-biri dan kambing meninggalkan bangsalnya untuk menuai rumput yang berembun dan berkilatan cahaya.Penggembalanya mengikuti dari belakang sambil mengamatinya di balik lelalang.Di belakangnya lagi gadis-gadis bernyanyi seperti burung menyambut pagi.Kini tangan siang hari yang perkasa terbaring di atas kota.Tirai telah diselak dari jendela dan pintu pun terbuka.Mata yang penat dan wajah lesu para penjahit telah siap di tempat kerjanya.Mereka merasakan kematian telah melanggar batas kehidupan mereka,dan riak muka yang layu mempamerkan ketakutan dan kekecewaan.Di jalanan padat dengan jiwa-jiwa yang tamak dan tergesa-gesa,dan di mana-mana terdengar desingan besi,pusingan roda dan siulan angin.Kota telah menjadi arena pertempuran di mana yang kuat menindas yang lemah dan si kaya mengeksploitasi dan menguasai si miskin.Betapa indah hidup ini,Cintaku,seperti hati penyair yang penuh dengan cahaya dan kelembutan hati.Dan betapa kerasnya hidup ini,Cintaku,seperti dada penjahat, yang berdebar-debar kerana selalu merasa bimbang dan takut.:+: Khalil Gibran :+:ALAM & MANUSIAAku mendengar anak sungai merintih bagai seorang janda yang menangis meratapi kematian anaknya dan aku kemudian bertanya,“Mengapa engkau menangis, sungaiku yang jernih?’Dan sungai itu menjawab,‘Sebab aku dipaksa mengalir ke kota tempat Manusia merendahkan dan mensia-siakan diriku dan menjadikanku minuman-minuman keras dan mereka memperalatkanku bagai pembersih sampah,meracuni kemurnianku dan mengubah sifat-sifatku yang baik menjadi sifat-sifat buruk.”Dan aku mendengar burung-burung menangis,dan aku bertanya,“Mengapa engkau menangis, burung-burungku yang cantik?”Dan salah satu dari burung itu terbang mendekatiku,dan hinggap di hujung sebuah cabang pohon dan berkata,“Anak-anak Adam akan segera datang di ladang ini dengan membawa senjata-senjata pembunuh dan menyerang kami seolah-olah kami adalah musuhnya.Kami sekarang terpisah di antara satu sama yang lain,sebab kami tidak tahu siapa di antara kami yang bisa selamat dari kejahatan Manusia.Ajal memburu kami ke mana pun kami pergi.“Kini, matahari terbit dari balik puncak pergunungan, dan menyinari puncak-puncak pepohonan dengan rona mahkota.Kupandangi keindahan ini dan aku bertanya kepada diriku sendiri,‘Mengapa Manusia mesti menghancurkan segala karya yang telah diciptakan oleh alam?’KeindahanKeindahan menjadi milik usia muda,tapi keremajaan yang untuknya dunia ini diciptakan tidak lebih dari sekadar mimpi yang manisnya diperhamba oleh kebutaan yang menghilangkan kesedaran.Akankah hari itu datang, ketika orang-orang bijak menyatukan kemanisan masa muda dan kenikmatan pengetahuan?Sebab masing-masing hanyalah kosong bila hanya sendirian.Akankah hari itu datang ketika alam menjadi guru yang mengajar manusia, dan kemanusiaan menjadi buku bacaansedangkan kehidupan adalah sekolah sehari-hari?Hasrat masa muda akan kesenangan-kenikmatan tidak terlalu menuntut tanggung jawab -hanya akan terpenuhi bila fajar telah menyelak kegelapan hari.Banyak lelaki yang tenggelam dalam keasyikan hari-hari masa muda yang mati dan beku;banyak perempuan yang menyesali dan mengutuk tahun-tahun tak berguna mereka seperti raungan singa betina yang kehilangan anak;dan banyak para pemuda dan pemudi yang menggunakan hati mereka sekadar sebagai alat penggali kenangan pahit masa depan,melukai diri melalui kebodohan dengan anak panah yang tajam dan beracun kerana kehilangan kebahagiaan.Usia tua adalah permukaan kulit bumi;ia harus,melalui cahaya dan kebenaran,memberikan kehangatan bagi benih-benih masa muda yangada dibawahnya, melindungi dan memenuhi keperluan merekahingga Nisan datang dan menyempurnakan kehidupan masa muda yang sedang tumbuh dengan kebangkitan baruKita berjalan terlalu lambat ke arah kebangkitan spiritual,dan perjalanan itu seluas angkasa tanpa batas,sebagai pemahaman keindahan kewujudan melaluirasa kasih dan cinta kepada keindahan tersebut:+: Khalil Gibran :+:NASIHAT JIWAKUJiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar mencintai semua orang yang membenciku,Dan berteman dengan mereka yang memfitnahku.Jiwaku menasihatiku dan mengungkapkan kepadaku bahawa cinta tidak hanya menghargai orang yang mencintai, tetapi juga orang yang dicintai.Sejak saat itu bagiku cinta ibarat jaring lelabah di antara dua bunga, dekat satu sama lain;Tapi kini dia menjadi suatu lingkaran cahaya di sekeliling matahari yang tiada berawal pun tiada berakhir, Melingkari semua yang ada, dan bertambah secara kekal.Jiwaku menasihatiku dan mengajarku agar melihat kecantikan yang ada di sebalik bentuk dan warna.Jiwaku memintaku untuk menatap semua yang buruk dengan tabah sampai nampaklah keelokannya.Sesungguhnya sebelum jiwaku meminta dan menasihatiku,Aku melihat keindahan seperti titik api yang tergulung asap;tapi sekarang asap itu telah tersebar dan menghilang, dan aku hanya melihat api yang membakar.Jiwaku menasihatiku dan memintaku untuk mendengar suara yang keluar bukan dari lidah maupun dari tenggorokan.Sebelumnya aku hanya mendengar teriakan dan jeritan di telingaku yang bodoh dan sia-sia.Tapi sekarang aku belajar mendengar keheningan,Yang bergema dan melantunkan lagu dari zaman ke zaman.Menyanyikan nada langit, dan menyingkap tabir rahsia keabadiaan..Jiwaku berkata padaku dan menasihatiku agar memuaskan kehausanku dengan meminum anggur yang tak dituangkan ke dalam cangkir-cangkir,Yang belum terangkat oleh tangan, dan tak tersentuh oleh bibirHingga hari itu kehausanku seperti nyala redup yang terkubur dalam abu.Tertiup angin dingin dari musim-musim bunga;Tapi sekarang kerinduan menjadi cangkirku,Cinta menjadi anggurku, dan kesendirian adalah kebahagianku.Jiwaku menasihatiku dan memintaku mencari yang tak dapat dilihat;Dan jiwaku menyingkapkan kepadaku bahwa apa yang kita sentuh adalah apa yang kita impikan.Jiwaku mengatakan padaku dan mengundangku untuk menghirup harum tumbuhan yang tak memiliki akar, tangkai maupun bunga,dan yang tak pernah dapat dilihat mata.Sebelum jiwaku menasihati, aku mencari bau harum dalam kebun-kebun,Dalam botol minyak wangi tumbuhan-tumbuhan dan bejana dupa;Tapi sekarang aku menyedari hanya pada dupa yang tak dibakar,Aku mencium udara lebih harum dari semua kebun-kebun di dunia ini dan semua angin di angkasa raya.Jiwaku menasihatiku dan memintaku agar tidak merasa muliakerana pujianDan agar tidak disusahkan oleh ketakutan kerana cacian.Sampai hari ini aku berasa ragu akan nilai pekerjaanku;Tapi sekarang aku belajar;Bahwa pohon berbunga di musim bunga, dan berbuah di musim panasDan menggugurkan daun-daunnya di musim gugur untuk menjadi benar-benar telanjang di musim dingin.Tanpa merasa mulia dan tanpa ketakutan atau tanpa rasa malu.Jiwaku menasihatiku dan meyakinkankuBahawa aku tak lebih tinggi berbanding cebol ataupun tak lebih rendah berbanding raksasa.Sebelumnya aku melihat manusia ada dua,Seorang yang lemah yang aku caci atau kukasihani,Dan seorang yang kuat yang kuikuti, maupun yang kulawandalam pemberontakan.Tapi sekarang aku tahu bahwa aku bahkan dibentuk oleh tanahyang sama darimana semua manusia diciptakan.Bahwa unsur-unsurku adalah unsur-unsur mereka, dan pengembaraan mereka adalah juga milikku.Bila mereka melanggar aku juga pelanggar,Dan bila mereka berbuat baik, maka aku juga bersama perbuatan baik mereka.Bila mereka bangkit, aku juga bangkit bersama mereka;Bila mereka tinggal di belakang, aku juga menemani mereka.Jiwaku menasihatiku dan memerintahku untuk melihat bahawa cahaya yang kubawa bukanlah cahayaku,Bahwa laguku tidak diciptakan dalam diriku;Kerana meski aku berjalan dengan cahaya, aku bukanlah cahaya,Dan meskipun aku bermain kecapi yang diikat kemas oleh dawai-dawaiku,Aku bukanlah pemain kecapi.Jiwaku menasihatiku dan mengingatkanku untuk mengukur waktu dengan perkataan ini:“Di sana ada hari semalam dan di sana ada hari esok.” Pada saat itu aku menganggap masa lampau sebuah zaman yang lenyap dan akan dilupakan, Dan masa depan kuanggap suatu masa yang tak bisa kucapai;Tapi kini aku terdidik perkara ini :Bahawa dalam keseluruhan waktu masa kini yang singkat, serta semua yang ada dalam waktu, Harus diraih sampai dapat.Jiwaku menasihatiku, saudaraku, dan menerangiku.Dan seringkali jiwamu menasihati dan menerangimu.Kerana engkau seperti diriku, dan tak ada beza di antara kita.Kusimpan apa yang kukatakan dalam diriku ini dalam kata-kata yang kudengar dalam heningku,Dan engkau jagalah apa yang ada di dalam dirimu, dan engkau adalah penjaga yang sama baiknya seperti yang kukatakan ini.LAGU OMBAKPantai yang perkasa adalah kekasihku,Dan aku adalah kekasihnya,Akhirnya kami dipertautkan oleh cinta,Namun kemudian Bulan menjarakkan aku darinya.Kupergi padanya dengan cepatLalu berpisah dengan berat hati.Membisikkan selamat tinggal berulang kali.Aku segera bergerak diam-diamDari balik kebiruan cakerawalaUntuk mengayunkan sinar keperakan buihkuKe pangkuan keemasan pasirnyaDan kami berpadu dalam adunan terindah.Aku lepaskan kehausannyaDan nafasku memenuhi segenap relung hatinyaDia melembutkankan suaraku dan mereda gelora di dada.Kala fajar tiba, kuucapkan prinsip cintadi telinganya, dan dia memelukku penuh dambaDi terik siang kunyanyikan dia lagu harapanDiiringi kucupan-kucupan kasih sayangGerakku pantas diwarnai kebimbanganSedangkan dia tetap sabar dan tenang.Dadanya yang bidang meneduhkan kegelisahanKala air pasang kami saling memelukKala surut aku berlutut menjamah kakinyaMemanjatkan doaSeribu sayang, aku selalu berjaga sendiriMenyusut kekuatanku.Tetapi aku pemuja cinta,Dan kebenaran cinta itu sendiri perkasa,Mungkin kelelahan akan menimpaku,Namun tiada aku bakal binasa.:+: Khalil Gibran :+:SETITIS AIRMATA DAN SEULAS SENYUMANTakkan kutukar dukacita hatiku demi kebahagiaan khalayak.Dan, takkan kutumpahkan air mata kesedihan yang mengalir dari tiap bahagian diriku berubah menjadi gelak tawa.Kuingin diriku tetaplah setitis air mata dan seulas senyuman.Setitis airmata yang menyucikan hatiku dan memberiku pemahaman rahsia kehidupan dan hal ehwal yang tersembunyi.Seulas senyuman menarikku dekat kepada putera kesayanganku dan menjelma sebuah lambang pemujaan kepada tuhan.Setitis airmata meyatukanku dengan mereka yang patah hati;Seulas senyum menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam kewujudan.Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan berbanding jika aku hidup menjemukan dan putus asa.Aku bersedia kelaparan demi cinta dan keindahan yang ada di dasar jiwaku setelah kusaksikan mereka yang dimanjakan amat menyusahkan orang.Telah kudengar keluhan mereka dalam hasrat kerinduan dan itu lebih manis daripada melodi yang termanis.Ketika malam tiba bunga menguncupkan kelopak dan tidur, memeluk kerinduannya.tatkala pagi menghampiri, ia membuka bibirnya demi menyambut ciuman matahari.Kehidupan sekuntum bunga sama dengan kerinduan dan pengabulan.Setitis airmata dan seulas senyuman.Air laut menjadi wap dan naik menjelma menjadi segumpal mega.Awan terapung di atas pergunungan dan lembah ngarai hingga berjumpa angin sepoi bahasa, jatuh bercucuran ke padang-padang lalu bergabung bersama aliran sungai dan kembali ke laut, rumahnya.Kehidupan awan-gemawan itu adalah sesuatu perpisahan dan pertemuan.Bagai setitis airmata seulas senyuman.Dan, kemudian jiwa jadi terpisahkan dari jiwa yang lebih besar, bergerak di dunia zat melintas bagai segumpal mega diatas pergunungan dukacita dan dataran kebahagiaan.Menuju samudera cinta dan keindahan – kepada Tuhan.:+: Khalil Gibran :+:7 ALASAN MENCELA DIRITujuh kali aku pernah mencela jiwaku,pertama kali ketika aku melihatnya lemah,padahal seharusnya ia bisa kuat.Kedua kali ketika melihatnya berjalan terjongket-jongketdihadapan orang yang lumpuhKetiga kali ketika berhadapan dengan pilihan yang sulit dan mudahia memilih yang mudahKeempat kalinya,ketika ia melakukan kesalahan dan cuba menghibur diridengan mengatakan bahawa semua orang juga melakukan kesalahanKelima kali,ia menghindar kerana takut,lalu mengatakannya sebagai sabarKeenam kali,ketika ia mengejek kepada seraut wajah burukpadahal ia tahu,bahawa wajah itu adalah salah satu topeng yang sering ia pakaiDan ketujuh,ketika ia menyanyikan lagu pujian dan menganggap itu sebagai suatu yang bermanfaatINDAHNYA KEMATIANPanggilanBiarkan aku terbaring dalam lelapku,kerana jiwa ini telah dirasuki cinta,dan biarkan daku istirahat,kerana batin ini memiliki segala kekayaan malam dan siang.Nyalakan lilin-lilin dan bakarlah dupa nan mewangi di sekeliling ranjang ini,dan taburi tubuh ini dengan wangian melati serta mawar.Minyakilah rambut ini dengan puspa dupa dan olesi kaki-kaki ini dengan wangian,dan bacalah isyarat kematian yang telah tertulis jelas di dahi ini.Biarku istirahat di ranjang ini,kerana kedua bola mata ini telah teramat lelahnya;Biar sajak-sajak bersalut perak bergetaran dan menyejukkan jiwaku;Terbangkan dawai-dawai harpa dan singkapkan tabir lara hatiku.Nyanyikanlah masa-masa lalu seperti engkau memandang fajar harapan dalam mataku,kerana makna ghaibnya begitu lembut bagai ranjang kapas tempat hatiku berbaring.Hapuslah air matamu, saudaraku,dan tegakkanlah kepalamu seperti bunga-bunga menyemai jari-jemarinya menyambut mahkota fajar pagi.Lihatlah Kematian berdiri bagai kolom-kolom cahaya antara ranjangku dengan jarak infiniti;Tahanlah nafasmu dan dengarkan kibaran kepak sayap-sayapnya.Dekatilah aku, dan ucapkanlah selamat tinggal buatku.Ciumlah mataku dengan seulas senyummu.Biarkan anak-anak merentang tangan-tangan mungilnya buatku dengan kelembutan jemari merah jambu mereka;Biarkanlah Masa meletakkan tangan lembutnya di dahiku dan memberkatiku;Biarkanlah perawan-perawan mendekati dan melihat bayangan Tuhan dalam mataku,dan mendengar Gema Iradat-Nya berlarian dengan nafasku….:+: Khalil Gibran :+:BAGI SAHABATKU YANG TERTINDASWahai engkau yang dilahirkan di atas ranjang kesengsaraan,diberi makan pada dada penurunan nilai,yang bermain sebagai seorang anak di rumah tirani,engkau yang memakan roti basimu dengan keluhan dan meminum air keruhmu bercampur dengan airmata yang getir.Wahai askar yang diperintah oleh hukum yang tidak adil oleh lelaki yang meninggalkan isterinya,anak-anaknya yang masih kecil,sahabat-sahabatnya,dan memasuki gelanggang kematian demi kepentingan cita-cita, yang mereka sebut ‘keperluan’.Wahai penyair yang hidup sebagai orang asing di kampung halamannya, tak dikenali di antara mereka yang mengenalinya,yang hanya berhasrat untuk hidup di atas sampah masyarakat dan dari tinggalan atas permintaan dunia yang hanya tinta dan kertas.Wahai tawanan yang dilemparkan ke dalam kegelapan kerana kejahatan kecil yang dibuat seumpama kejahatan besar oleh mereka yang membalas kejahatan dengan kejahatan,dibuang dengan kebijaksanaan yang ingin mempertahankan hak melalui cara-cara yang keliru.Dan engkau, Wahai wanita yang malang,yang kepadanya Tuhan menganugerahkan kecantikan.Masa muda yang tidak setia memandangnya dan mengekorimu,memperdayakan engkau,menanggung kemiskinanmu dengan emas.Ketika kau menyerah padanya, dia meninggalkanmu. Kau serupa mangsa yang gementar dalam cakar-cakar penurunan nilai dan keadaan yang menyedihkan.Dan kalian, teman-temanku yang rendah hati,para martir bagi hukum buatan manusia.Kau bersedih, dan kesedihanmu adalah akibat dari kebiadaban yang hebat,dari ketidakadilan sang hakim, dari licik si kaya,dan dari keegoisan hamba demi hawa nafsunya Jangan putus asa,kerana di sebalik ketidakadilan dunia ini,di balik persoalan, di balik awan gemawan,di balik bumi, di balik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah seluruh kadilan, segenap kelembutan, semua kesopanan, segenap cinta kasih.Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan.Segera angin yang lembut akan bertiup dan membawa bijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.Engkau laksana pepohonan telanjang yang rendah kerana berat dan bersama salju musim dingin. Lalu musim bunga akan tiba menyelimutimu dengan dedaunan hijau dan berair banyak.Kebenaran akan mengoyak tabir airmata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.:+: Khalil Gibran :+:TANYA SANG ANAKKonon pada suatu desa terpencilTerdapat sebuah keluargaTerdiri dari sang ayah dan ibuSerta seorang anak gadis muda dan naif!Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu!Ibu!Mengapa aku dilahirkan wanita?Sang ibu menjawab,“Kerana ibu lebih kuat dari ayah!“Sang anak terdiam dan berkata,”Kenapa jadi begitu?“Sang anak pun bertanya kepada sang ayah!Ayah!Kenapa ibu lebih kuat dari ayah?Ayah pun menjawab,”Kerana ibumu seorang wanita!!!Sang anak kembali terdiam.Dan sang anak pun kembali bertanya!Ayah!Apakah aku lebih kuat dari ayah?Dan sang ayah pun kembali menjawab,” Iya,kau adalah yang terkuat!”Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya.Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain.Ayah!Apakah aku lebih kuat dari ibu?Ayah kembali menjawab,”Iya kaulah yang terhebat dan terkuat!“”Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat?” Sang anak pun kembali melontarkan pertanyaan.Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan.“Kerana engkau adalah buah dari cintanya!Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam.Cinta yang dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu!Dan kau adalah segalanya buat kami.Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami.Tawamu adalah tawa kami.Tangismu adalah air mata kami.Dan cintamu adalah cinta kami.Dan sang anak pun kembali bertanya!Apa itu Cinta, Ayah?Apa itu cinta, Ibu?Sang ayah dan ibu pun tersenyum!Dan mereka pun menjawab,”Kau, kau adalah cinta kami sayang..”:+: Khalil Gibran :+:KISAHKUDengarkan kisahku… .Dengarkan,tetapi jangan menaruh belas kasihan padaku:kerana belas kasihan menyebabkan kelemahan, padahal aku masih tegar dalam penderitaanku..Jika kita mencintai,cinta kita bukan dari diri kita, juga bukan untuk diri kita.Jika kita bergembira,kegembiraan kita bukan berada dalam diri kita, tapi dalam Hidup itu sendiri.Jika kita menderita,kesakitan kita tidak terletak pada luka kita, tapi dalam hati nurani alam.Jangan kau anggap bahawa cinta itu datang kerana pergaulan yang lama atau rayuan yang terus menerus.Cinta adalah tunas pesona jiwa,dan jika tunas ini tak tercipta dalam sesaat,ia takkan tercipta bertahun-tahun atau bahkan dari generasi ke generasi.Wanita yang menghiasi tingkah lakunya dengan keindahan jiwa dan raga adalah sebuah kebenaran,yang terbuka namun rahsia;ia hanya dapat difahami melalui cinta,hanya dapat disentuh dengan kebaikan;dan ketika kita mencuba untuk menggambarkannya ia menghilang bagai segumpal wap.:+: Kahlil Gibran :+:SYUKURBangun di fajar subuh dengan hati seringan awanMensyukuri hari baru penuh sinar kecintaanIstirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cintaPulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dadaKemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubariDan sebuah nyanyian kesyukuran terpahat di bibir senyuman:+: Kahlil Gibran :+:IBUIbu merupakan kata tersejuk yang dilantunkan oleh bibir – bibir manusia.Dan “Ibuku” merupakan sebutan terindah.Kata yang semerbak cinta dan impian, manis dan syahdu yang memancar dari kedalaman jiwa.Ibu adalah segalanya.Ibu adalah penegas kita dilaka lara, impian kta dalam rengsa, rujukan kita di kala nista.Ibu adalah mata air cinta,kemuliaan, kebahagiaan dan toleransi.Siapa pun yang kehilangan ibunya,ia akan kehilangan sehelai jiwa suci yang senantiasamerestui dan memberkatinya.Alam semesta selalu berbincang dalam bahasa ibu.Matahari sebagai ibu bumi yang menyusuinya melalui panasnya.Matahari tak akan pernah meninggalkan bumi sampai malam merebahkannya dalam lentera ombak, syahdu tembang beburungan dan sesungaian.Bumi adalah ibu pepohonan dan bebungaan.Bumi menumbuhkan, menjaga dan membesarkannya.Pepohonandan bebungaan adalah ibu yang tulus memelihara bebuahan dan bebijian.Ibu adalah jiwa keabadian bagi semua wujud.Penuh cinta dan kedamaian.:+: Khalil Gibran :+:WAKTUDan seorang pakar astronomi berkata,“Guru, bagaimanakah perihal Waktu?“Dan dia menjawab:Kau ingin mengukur waktu yang tanpa ukuran dan tak terukur.Engkau akan menyesuaikan tingkah lakumu dan bahkan mengarahkan perjalanan jiwamu menurut jam dan musim.Suatu ketika kau ingin membuat anak sungai, di mana atas tebingnya kau akan duduk dan menyaksikan alirannya.Namun keabadian di dalam dirimu adalah kesedaran akan kehidupan nan abadi,Dan mengetahui bahawa semalam hanyalah kenangan utk hari ini dan esok adalah harapan dan impian utk hari ini.Dan yang menyanyi dan merenung dari dalam jiwa, sentiasa menghuni ruang semesta yang menaburkan bintang di angkasa.Siapa di antara kalian yang tidak merasa bahawa daya mencintainya tiada batasnya?Dan siapa pula yang tidak merasa bahawa cinta sejati, walau tiada batas, terkandang di dalam inti dirinya, dan tiada bergerak dari fikiran cinta ke fikiran cinta, pun bukan dari tindakan cinta ke tindakan cinta yang lain?Dan bukanlah sang waktu sebagaimana cinta, tiada terbahagi dan tiada kenal ruang?Tapi jika di dalam fikiranmu baru mengukur waktu ke dalam musim,biarkanlah tiap musim merangkumi semua musim yang lain,Dan biarkanlah hari ini memeluk masa silam dengan kenangan dan masa depan dengan kerinduan.:+: Khalil Gibran :+:SEMALAMSemalam aku sendirian di dunia ini,kekasih; dan kesendirianku…sebengis kematian…Semalam diriku adalah sepatah kata yang tak bersuara…,Di dalam fikiran malam.Hari ini…aku menjelma menjadi sebuah nyanyian menyenangkan di atas lidah hari.Dan, ia berlangsung dalam seminit dari sang waktu yang melahirkan sekilas pandang,sepatah kata, sebuah desakan dan… sekucup ciuman:+: Khalil Gibran :+:KATA SELEMBAR KERTAS SEPUTIH SALJUKata selembar kertas seputih salju,”Aku tercipta secara murni, kerana itu aku akan tetap murni selamanya. Lebih baik aku dibakar dan kembali menjadi abu putih daripada menderita kerana tersentuh kegelapan atau didekati oleh sesuatu yang kotor.”Tinta botol mendengar kata kertas itu. Ia tertawa dalam hatinya yang hitam, tapi tak berani mendekatinya. Pensil-pensil beraneka warna pun mendengarnya, dan mereka pun tak pernah mendekatinya. Dan selembar kertas yang seputih salju itu tetap suci dan murni selamanya -suci dan murni- dan kosong.:+: Khalil Gibran :+:ANAKDan seorang perempuan yang menggendong bayi dalam dakapan dadanya berkata,Bicaralah pada kami perihal Anak.Dan dia berkata:Anak-anakmu bukanlah anak-anakmuMereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiriMereka dilahirkan melalui engkau tapi bukan darimuMeskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmuPada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan fikiranmuKerana mereka memiliki fikiran mereka sendiriEngkau bisa merumahkan tubuh-tubuh mereka, tapi bukan jiwa merekaKerana jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpiEngkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan cuba menjadikan mereka sepertimuKerana hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa laluEngkau adalah busur-busur tempat anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkanSang pemanah telah membidik arah keabadian,dan ia merenggangkanmu dengan kekuatannya,sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh.Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraanSebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang,maka ia juga mencintai busur teguh yang telah meluncurkannya dengan sepenuh kekuatan.(Dari ‘Cinta, Keindahan, Kesunyian’):+: Kahlil Gibran :+:Nyanyian SukmaDi dasar relung jiwakuBergema nyanyian tanpa kata;sebuah laguyang bernafas di dalam benih hatiku,Yang tiada dicairkan oleh tinta di atas lembar kulit ;ia meneguk rasa kasihkudalam jubah yg nipis kainnya,dan mengalirkan sayang,Namun bukan menyentuh bibirku.Betapa dapat aku mendesahkannya?Aku bimbang dia mungkin berbaur dengan kerajaan fanaKepada siapa aku akan menyanyikannya?Dia tersimpan dalam relung sukmakuKerna aku risau, dia akan terhempasDi telinga pendengaran yang keras.Pabila kutatap penglihatan batinkuNampak di dalamnya bayangan dari bayangannya,Dan pabila kusentuh hujung jemarikuTerasa getaran kehadirannya.Perilaku tanganku saksi bisu kehadirannya,Bagai danau tenang yang memantulkan cahayabintang-bintang bergemerlapan.Air mataku menandai senduBagai titik-titik embun syahduYang membongkarkan rahsia mawar layu.Lagu itu digubah oleh renungan,Dan dikumandangkan oleh kesunyian,Dan disingkiri oleh kebisingan,Dan dilipat oleh kebenaran,Dan diulang-ulang oleh mimpi dan bayangan,Dan difahami oleh cinta,Dan disembunyikan oleh kesedaran siangDan dinyanyikan oleh sukma malam.Lagu itu lagu kasih-sayang,Gerangan ‘Cain’ atau ‘Esau’ manakahYang mampu membawakannya berkumandang?Nyanyian itu lebih semerbak wangi daripada melati:Suara manakah yang dapat menangkapnya?Kidung itu tersembunyi bagai rahsia perawan suci,Getar nada mana yang mampu menggoyahnya?Siapa berani menyatukan debur ombak samudra dengan kicau bening burung malam?Siapa yang berani membandingkan deru alam,Dengan desah bayi yang nyenyak di buaian?Siapa berani memecah sunyiDan lantang menuturkan bisikan sanubariYang hanya terungkap oleh hati?Insan mana yang beranimelagukan kidung suci Tuhan?(Dari ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setitis Air Mata Seulas Senyuman):+: Khalil Gibran :+:

Lagu Kuburan Versi Hacker

LUPA! lupa lupa lupa, lupa lagi syntaxnya

LUPA! lupa lupa lupa, lupa lagi syntaxnya

INGAT! ingat ingat ingat, cuma ingat Algonya

INGAT! aku ingat ingat, cuma ingat Algonya


[**]

C: \registry, \Services, ke blok,

ke C: lagi, \registry, C panel, ke blok,

ke C: lagi, \registry, C panel, ke blok,

ke C: lagi,


Back to[*] [**]


C: sialan, keDeepfreeze, ke D:,

ke C: lagi, sialan, keDeepFreeze, mampus,

ke C: lagi, \registry, C panel, ke blok,

ke C: lagi, \services, kill AV, ke blok,

ke C: lagi, \registry, Kill AV, ke blok,

SYNTAX ERROR!!

Cara Mencegah Pembobolan ATM

Karena banyak terjadi kasus pembobolan dana lewat ATM, berikut adalah tips bagi anda sebelum mengambil uang di ATM.

1. Cari mesin yang mulut mesinnya berwarna ijo. Kalau nggak ada, coba cari warna pink. Kalau nggak ada juga, coba cari warna biru. Kalau nggak ada juga, mungkin anda lagi di wartel bukan ATM.

2. Masukin ATM bank lain, untuk menipu penyadapan pin anda. Siapa tahu keluar juga duitnya.

3. Coba bicara dulu sama mesin ATM-nya. "Elo disadap nggak?" Kalau dia bilang nggak, ambil dah.

4. Coba tes masukin KTP anda dulu, kalau tiba-tiba fotonya keluar beda. Berarti itu disadap!

5. Bungkus kartu ATM anda dengan kondom untuk mencegah kebocoran/penyadapan.

Selamat Mencoba.

Cerpen - Di Bawah Bulan Separuh

INI perjalanan pertamaku menjejakkan kaki ke kotamu, kampung kelahiranmu. Tak pernah terbayangkan sebelum ini, aku bisa sampai ke kotamu. Pulau Sumatera sungguh tak pernah masuk dalam peta anganku. 

Tetapi, sebulan lalu, tiba-tiba --seperti mimpi-- aku bisa menyeberangi laut dan Selat Sunda. Mimpikah aku? Kau meyakinkan aku, kalau aku dalam dunia nyata. Kau cubit lenganku, kau sentuh pipiku. Terasa kan? Aku mengangguk. Berarti aku memang tidak bermimpi.

Kapal cepat yang menyeberangkan aku dari Dermaga Merak ke Pelabuhan Bakauhuni telah menjadikan nyata bagiku bisa sampai ke kota kelahiranmu. Di sini, pertama sekali yang kucicipi adalah buah durian. Menurutmu buah berkulit duri tajam ini adalah makanan yang nikmat, bisa dibuat apa saja. Bisa dimakan langsung, diawetkan hingga menjadi nama lain yaitu tempoyak, dodol durian. "Atau bisa kita campur sambal untuk lauk makan nasi. Makanmu bisa bergairah, tiga piring tanpa kau sadari bisa masuk ke mulutmu," katamu.

Wow! Aku pun ingin membuktikannya. Lalu kau ajak aku ke Kafe Yayang di Jalan Cut Nyak Dhien Kota Bandar Lampung. Aku menyantap banyak tempoyak yang telah dicampur sambal terasi (kau menyebut sambal khas kampung kelahiranmu ini adalah seruit). Rasanya pedas sekali. Tetapi aku suka. Keringat membasahi wajahku, terutama di bagian kening dan kedua bibirku.

"Kau makan sampai luah iting1," katamu. Aku tersenyum. Tak mengerti maksud bahasamu.

Aku hendak menghentikan makanku, tapi kau terus menyodorkan makanan lainnya. Kau bilang yang terhidang di meja ini semua makanan khas di sini. "Kau bisa mencicipi sekadar, kalau kau sudah kenyang. Kapan lagi kau bisa ke kota ini kalau kau tak mencicipinya sekarang?"

Kau benar. Aku mencicipi semua hidangan yang tersedia. Meski cuma secuil, sekadarnya. Aku jadi ingin berlama-lama tinggal di kotamu. Aku ingin memetik durian langsung dari pohonnya. Kau tahu, tiba-tiba aku mencintai kotamu, seperti aku mencintaimu. Ah, benarkah aku mencintaimu? Kupikir begitu. Meski tak sebesar cintamu padaku.

Cuma, sudah tiga hari di sini aku belum mendengar orang berbicara dengan bahasa ibunya. Tapi dengan bahasa nasional. Aku jadi heran. Kau pun menjelaskan, "Inilah demokratisnya orang Lampung, meski akhirnya bahasanya sendiri seperti tersingkir."

Dan, katamu lagi, "Kami tak pernah terusik. Malah banyak orang asli yang pandai berbahasa etnis lain. Inilah kekuatan kami, terbuka bagi pluralisme," katamu. Aku mengangguk. Tersenyum. Tiba-tiba aku merasa ingin kau gandeng saat menuruni Kafe Diggers, malam ini.

Aku akan menetap di sini selama 3 bulan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku mengambil tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku sengaja memilih PKL di daerahmu agar aku bisa selalu bersama-sama denganmu. Selain itu, katamu sebelum aku mengambil pilihan lokasi PKL, aku bisa mengenal lebih dekat keluargamu secara langsung. Itu kau katakan di suratmu sebelum aku berangkat ke kotamu.

Kalau saja kau melihatku waktu itu, aku hanya mengerutkan keningku seraya berkata dalam hati: Benarkah itu? Benarkah aku telah memilihmu sebagai calon pendamping hidupku? Setahuku aku hanya ingin bisa berduaan denganmu. Itu saja.

"Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Terutama orang tuaku dan adik-adikku. Mereka pasti senang menerimamu. Kau gadis Jawa, ayu dan cantik!" pujimu. Aku tersipu. Kurapatkan bibirmu dengan telapak tanganku. Supaya kau tak mengumbar pujian (mungkin rayuan?) untukku.

***
AKU mengira kotamu masih belantara. Masih banyak binatang buas. Menyeramkan. Penjahat beringas. Kenyataannya, kotamu nyaris sama dengan kota-kota lain di negeri ini yang telah maju. Pembangunan sangat pesat. Di sini ada pula swalayan, supermarket, dan bangunan lainnya yang mencerminkan kota maju.

Orang tuaku, terutama ibuku, sempat ragu dengan keputusanku memilih lokasi PKL di kotamu. Ia khawatir aku akan terlantar di kampung halaman orang. Tak bisa lelap karena risau diganggu binatang buas. Itu juga yang membuatmu agak kecewa. Aku memang pernah berkata, "Kalau kau hanya menunjukkan pembangunan yang pesat di daerahmu, sudah tak asing dan khas lagi." Aku setengah protes, tapi setengahnya lagi aku hendak bertahan.

Bagaimanapun kota kelahiranmu memang mengasyikkan. Aku merasakan warganya selalu akur-akur saja, damai-damai saja. Buktinya di sini tak pernah terjadi kerusuhan yang mencapai genting hingga membahayakan keutuhan.

Benarkah itu? Aku masih belum yakin. Berbagai etnis ada di daerah ini, bagaimana mungkin bisa hidup tanpa pernah terjadi pergesekan? Tetapi, sudahlah, aku tak sedang mempersoalkan sosiologi di kampung kelahiranmu.

Sebelum memulai tugas PKL di Desa Bakung2, kau sempat mengajakku mengunjungi Taman Nasional Bukit Barisan di Bengkunat3 yang menawan. Dan jika dikelola, tentunya bisa mendatangkan devisa bagi pemerintah. Aku sempat ketakutan kala warga Bakung melakukan protes soal tanah ulayat dengan perusahaan pabrik gula. Protes itu berkembang menjadi pertikaian. Ada yang tewas dalam insiden itu. Wajar bila warga Bakung protes, karena ganti rugi tanah ulayat mereka yang digunakan ladang tebu oleh pabrik gula milik keluarga Cendana, sungguh tak wajar. Hanya saja dulu mereka tak berani.

Kasus tanah ulayat Bakung itu menarik. Kau memberi banyak informasi dan data tentang itu. "Kau bisa membuat penelitian tentang kasus tanah di situ. Menarik, sangat menarik." Aku tertarik. Kemudian setiap malam aku banyak mengobrol, diskusi, dan masuk ke dalam denyut napas orang-orang Bakung. Kau selalu setia menemaniku.

Aku suka tinggal di rumah orang tuamu daripada di rumah yang disediakan Pak Camat Ari Zamzari selama masa PKL. Rumah tinggalmu terkesan khas: rumah panggung. Suatu hal baru yang tak kujumpai di tanah Jawa. Seluruh penyangga rumahmu terbuat dari kayu. Kayu dari batang yang kuat dan tahan lama. Katamu sudah hampir 70 tahun. Rumah khas seperti itu kini banyak disukai orang-orang berduit dari kota.

Aku jadi ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku, tentunya. Tetapi, mungkinkah itu? Menurut adatmu, anak tertua sebagai penyimbang, harus menikah dengan gadis asli daerahmu. Kau menyebutnya muli.4 Dengan begitu kau bisa mendapatkan warisan. Anak-anakmu akan mendapatkan gelar dan diperkenankan cakak pepadun.5

Aku yang bukan gadis asli daerah ini bagaimana mungkin bisa mendampingimu? Aku sempat ragu juga. Meski orang tuamu, keluargamu, tampak baik-baik saja denganku. Keluargamu sangat menerima kehadiranku. Itulah yang membuatku betah selama PKL. Namun, diam-diam aku juga bertanya pada diriku sendiri. Sungguhkah aku ingin menikah denganmu? Jangan-jangan tidak. Jangan-jangan aku salah menafsirkan perasaanku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini keliru. Entahlah. Aku takut dengan rahasia yang kusimpan sendiri. Aku merasa memiliki cinta untukmu. Tapi seberapakah? Dan berhakkah aku?

***
MALAM di Rawa Jitu, aku sempat gemetar. Tulang-tulang persendianku seperti hendak copot. Benar-benar aku dicekam ketakutan. Waktu itu kau tak menemaniku. Kau mendapat tugas mendampingi klienmu di Menggala, ibu kota Tulangbawang.

Bagaimana aku tidak ketakutan. Bahkan aku nyaris mati berdiri. Sekawanan gajah menyerbu perkampungan. Warga menghidupi puluhan obor, tapi kawanan gajah itu tak juga kembali ke belantara. Bahkan parit dengan kedalaman 1,5 meter yang dibuat warga sebagai benteng, bisa dengan mudah dilewati para gajah itu. Kawanan hewan tambun berbelalai panjang itu menggasak rumah-rumah warga. Memorak-porandakan isi rumah, merusak perkebunan warga. Mencabuti ladang singkong dan tebu.

Kami dicekam ketakutan. Kentongan dari kayu tak henti dipukuli. Biar riuh. Agar gajah-gajah itu masuk kembali ke habitatnya. Sayangnya itu sia-sia. Seorang ibu dan dua anak-anak diremukkan dengan belalainya sebelum dilempar ke semak. Mati. Ya, malam itu tiga warga di situ tewas. Pertempuran tak sebanding. Pikirku. Aku benar-benar takut. Gigil. Tiba-tiba aku teringat pada ibuku di Jawa. Apakah ia merasakan apa yang kualami sekarang? Sebuah rasa ketakutan yang sempurna. Aku menyelamatkan diri ke kampung sebelah. Dievakuasi ke daerah lain. Tak hendak lagi menetap di rumah yang disediakan camat. Aku memilih tinggal di rumahmu, bersamamu. Sampai masa PKL-ku selesai.

"Bukankah ini yang kau inginkan?" kau berbisik. Bulan separuh di langit. Kita duduk di bawah pohon jambu dekat rumahmu. Agak temaram. Aku menikmati tanganmu membelai rambutku. Kau masih seperti waktu di kampus dulu. Amat sayang dan memperhatikan aku.

"Sudah berapa lama kita tak seperti ini, ya?"

Kau memandangku sejenak. Kau tak menjawab. Rasanya memang pertanyaanku itu tak memerlukan jawaban. Memang kau lebih dulu selesai. Kau cerdas. Apalagi kau selalu mengambil kuliah pintas, semester pendek. "Aku ingin segera menyelesaikan kuliah. Kasihan orang tuaku di kampung, aku ingin mengabdi pada mereka," katamu. Kau pun berjanji akan tetap bersamaku, akan selalu mencintaiku. "Aku ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku…"

Aku percaya. Itu bukan rayuanmu. Kau pun segera bekerja, sebagai pegawai negeri di instansi Departemen Kehakiman. Kau ditempatkan di kantor kejaksaan di kotamu. Surat-suratmu tetap mengalir kuterima. Tapi aku juga tetap membawa rahasia diriku. Tentang cintaku padamu. Yang aku sendiri tak begitu mengerti. Dan kau tak pernah tahu.

"Aku mengagumi ketegasanmu, kekonsistenanmu," aku memuji. Kau hanya tersenyum. Aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai bermain lidah? Membohongimu dengan kata-kataku.

Kalau saja tidak karena urusan kuliah dan aku harus segera ujian akhir, mungkin aku akan berlama-lama lagi menetap di kampung kelahiranmu. Aku sudah telanjur jatuh hati dengan kampungmu, dengan keterbukaan warganya, dan keramahan keluargamu. "Terutama denganmu, sayang…" kataku. Tapi bagaimanapun, aku harus pulang. Kembali ke Jawa. Kembali berpisah denganmu. Dengan sebuah rahasia dalam diriku. Tentang cintaku. Diriku.

***
AKU telah mendapat gelar kesarjanaanku. Kau tak datang saat wisudaku karena pekerjaanmu mengharuskan kau tetap ada di kotamu. Aku maklum. Atau….Entahlah. Aku maklum atau justru tak terlalu peduli. Saat itu, di gedung auditorium kampusku, seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Ya. Dialah yang mendampingiku selama acara wisudaku berlangsung. Dan, kau tak tahu itu.

Kini aku masih menganggur. Aku tak secerdas kau. Aku harus mencari pekerjaan dengan sekian peluhku. Tak seperti dirimu yang justru dicari-cari pekerjaan. Banyak perusahaan menunggu dan menawarimu pekerjaan bahkan sebelum kau lulus dari universitas.

Bulan demi bulan berjalan dengan cepat. Surat-suratmu masih menyapaku, meskipun semakin jarang saja. Aku tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak mencintaiku lagi, tapi barangkali kau lelah dan bingung. Kau pernah bilang ingin melamarku, tapi ternyata kau harus berhadapan dengan sebuah dinding yang membuatmu begitu dilematis. Keluarga besarmu memang pernah menerimaku dengan baik saat aku di kotamu.

Ya. Mereka menerimaku sebagai tamu mereka. Temanmu. Tapi sesungguhnya, mereka tetap menginginkan kau kelak menikah dengan gadis satu suku denganmu. Berarti bukan aku. Tapi anehnya, aku tak bersedih karena hal itu. Atau berusaha untuk tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Jika kuingat siapa aku, aku merasa tak berhak untuk bersedih.

Aku mengingat dirimu. Juga surat-suratmu yang kian tak menemuiku di sini. Sedang apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah menangisi nasib cinta kita yang kemungkinan besar tak bisa bersatu? Ah. Tiba-tiba aku ingin sekali memberitahumu yang sebenarnya terjadi padaku di sini.

Aku mencintaimu. Tapi aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Aku, sesungguhnya, tak sebaik yang kau kira. Aku bermain di belakangmu. Dengan semua rahasia tentang cintaku. Diriku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu. Mungkin, kau tak pernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Keluargaku. Terlebih setelah kau menjadi demikian bisu. Jarang menghubungiku.

Keadaan yang mungkin telah membuatmu luka itu, juga surat-suratmu yang hanya sesekali kau kirimkan padaku, malah menjadi alasan untukku menyelamatkan diri darimu. Dengan semua permainanku selama ini di belakangmu. Aduh, sayang, maafkan aku.

Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah aku memang benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani (malu?) untuk menempuh hidup bersamamu? Aku memang telah tahu keluargamu. Mereka sangat baik, bahkan padaku. Tapi kau sama sekali tidak tahu siapa keluargaku. Iya, kan?

Dan entah kau sadari atau tidak, aku sengaja tak pernah mengajakmu untuk menemui keluargaku. Mengenal ibuku yang menderita sakit sejak aku kembali dari kotamu. Kau pun tak tahu kalau aku tak mempunyai ayah lagi. Sungguh, kau tak mengenalku. Selama ini aku yang kau lihat bukanlah aku yang sebenarnya.

Maka ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk menikahiku. Aku pun tak memrotesmu ketika kau mulai jarang menyuratiku di sini. Mungkin ini yang terbaik untukmu. Karena kau tak tahu aku. Barangkali, kalau kau tahu siapa aku, kau juga akan langsung meninggalkanku begitu saja. Barangkali tak akan pernah ada rencana pernikahan kita di kepalamu.

Aku duduk di sisi kanan ranjang yang menopang tubuh kurus ibuku, di rumah kami yang sempit. Sudah cukup lama ia sakit. Dan sudah begitu banyak obat yang masuk ke perutnya. Tapi ia tak juga beranjak sembuh. Malah sebaliknya. Dadaku sesak. Memikirkan keadaan keluargaku. Ibuku, dan dua adikku yang masih kecil-kecil. Uang yang kumiliki telah terkuras untuk membeli obat-obatan ibuku. Aku beruntung masih bisa menyelesaikan kuliahku.

Aku ingat pada kekasihku di seberang. Semua kenangan indahku bersamanya di kota kelahirannya, masih kuingat dengan sangat rapi. Kini aku tak pernah lagi mendengar kabarnya. Barangkali dia sudah menikah, pikirku. Entahlah. Aku pun ingin menghilang darinya. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk keluargaku. Agar adik-adikku tidak terlantar. Seperti selama ini akulah tiang keluarga ini. Dan aku berhasil. Bahkan dapat membiayai kuliahku. Meski, cara yang kupilih ini tidak sesuai dengan hatiku sendiri. Tapi, aku terpaksa melakukannya.

Mataku berkaca-kaca. Kesejukan udara pagi berubah menyakitkan bagiku. Suara embun yang menitik di daun kurasakan seperti jarum-jarum yang menusuki dadaku. Aku berusaha menahan rasa sedihku. Di hadapanku, ibuku menghembuskan napasnya yang terakhir. Dua adikku hanya menangis dan menangis. Aku pusing.

Malam menjemputku. Ini malam ke sepuluh setelah kematian ibuku. Kegelapannya seolah berusaha menutupi semua kesedihan yang terlukis di wajahku. Aku masih menganggur. Tapi aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Aku dan kedua adikku harus melanjutkan hidup kami. Demi mereka, batinku. Maka….

***
AKU telah berdandan rapi. Seperti yang biasa kulakukan selama aku masih kuliah dulu. Kutinggalkan rumah. Ada rasa jengah pada diri sendiri. Tapi kumusnahkan.

Aku kembali pada pekerjaan lamaku. Menjadikan malam-malamku sebagai ajang pertempuran. Pergumulan. Aku membayangkan sekian lembaran uang kertas di tanganku besok pagi.

Seorang lelaki kini tengah menindih tubuhku yang telanjang. Di sebuah hotel, kamar 105…

***
MUNGKIN kau tak akan pernah tahu, atau sama sekali tak mau peduli, tentangku. Aku pun begitu. Tak pernah mengharap, bahkan untuk selembar kabar darimu. Meski kenangan-kenangan semasa aku di kampung kelahiranmu, tak pernah akan pupus.

"Setiap tamu datang dan meminum air sungai ini ia pasti akan kembali. Air sungai ini seperti menghipnotisnya. Sungai Tulangbawang ini kami yakini bertuah," ujarmu. Di bawah bulan separuh. Langit cemerlang. Sungai tua bernama Tulangbawang6 tengah tenang berombak, di kejauhan tampak samar-samar.

Waktu itu aku tak begitu yakin. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita lupakan. Ternyata benar. Aku tak akan pernah kembali ke kampung kelahiranmu. Meski kenangan-kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu. Cinta kita.

Kubiarkan segala kenangan dan cinta kita tetap ada, betapa pun aku telah berpindah-pindah dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Masuk hotel dan keluar hotel. Ditiduri. Kota ini akan menyembunyikan diriku. Tak seorang pun tahu. Seperti malam ini, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 03.15, dengan langkah gontai karena kebanyakan air beralkohol kutinggalkan kamar hotel itu.

Pulang. Ya. Sebelum pagi menjemput. Sebelum bulan separuh di atas kepalaku lesap di peraduannya. Aku masih saja terkenang kampung kelahiranmu yang menyimpan selaksa harapan. Ya, harapan…***

Cerpen - Seorang Hujan

 AKU ingin hidup dalam tubuh seseorang, dalam kenyataan orang lain. Aku tahu itu tidak mungkin. Aku tahu itu sebuah dusta yang berusaha aku buat untuk diriku sendiri. Dusta murahan yang membuat manusia menjadi bahan olok-olok di dapur rumahnya sendiri. Suara panci, piring, gelas dan sendok yang menjadi gaduh.


Tapi aku terus memikirkannya. Berhari-hari. Aku merasa keinginan itu seharusnya bisa aku lakukan. Mustahil aku tak bisa melakukannya. Aku membayangkan perpindahan seperti itu sesuatu yang seharusnya bisa dimiliki siapapun. Aku membayangkan tubuh itu tidak beda jauh saat aku menyalakan lampu listrik. Cahaya tiba-tiba hidup di dalam tabung kaca. Ketika listrik aku matikan, cahaya itu juga ikut mati. Ia tidak berjalan keluar dari tabung kaca itu. Tapi mati. Padam. Darah bisa keluar dari tubuhku, keringat juga bisa menetes. Aku memikirkannya hingga musim hujan datang. Dan semua tentang pikiran itu berubah, saat hujan pertama betul-betul datang, turun di halaman rumah.

Aku menatapnya dari balik jendela kaca. Tiba-tiba hujan itu membuka pintu rumahku. Ia tidak masuk. Ia hanya berdiri di depan pintu. Tubuhnya seperti gumpalan awan berwarna hitam legam. Ada suara halus yang terdengar dari dalam gumpalan awan hitam itu, seperti suara pesawat yang berbunyi konstan. Sejak itu aku mulai bersahabat dengannya. Aku memanggilnya hujan di pagi hari.

***

PAGI itu aku sedang berjalan bergandengan bersama hujan. Udara dingin. Angin membuat tirai dari air hujan, tipis, seperti ciuman di leher menjelang bangun tidur di pagi hari.

"Sudah lama aku menunggumu di lembah itu," kataku. Hujan tak menjawab. Ia menggenggam tanganku seperti merasakan detak waktu yang bergerak. "Manusia tidak menarik karena ia bisa menghitung waktu," katanya. Aku memandangnya. Wajahnya bersih. Rambutnya tersisir rapi. Rapi, seperti rajutan yang terbuat dari air.

"Aku tahu waktu tidak pernah bisa menyentuh dirimu," kataku. "Kamu tidak pernah tua. Kamu selalu baru. Kamu tidak mengenal tubuh yang tumbuh menjadi dewasa, lalu tua, sakit dan mati. Kamu tidak pernah merasakan sakit, terluka, dan kesepian." Hujan lalu membelah dirinya dengan belahan-belahan yang berulang. Cahaya biru yang tipis memancar pada setiap terjadinya pertemuan antarbelahan itu.

"Ini hari yang istimewa untukmu juga untukku sendiri," katanya. "Aku datang 5 mil untuk menemuimu pagi ini, berlari menuruni lembah, menerjang hutan bambu dan mematahkan sebuah jembatan di sebuah sungai yang airnya deras dan berbatu-batu."

"Di musim bunga tahun lalu, ketika kupu-kupu hampir setiap pagi membuat tarian di lembah itu, dan cahaya matahari seperti sedang menciptakan tubuhku dari daun-daun kacang di lembah itu, aku sangat berharap kamu datang di lembah itu. Tapi kemudian aku sadar, kamu tidak mungkin menemuiku. Aku juga tidak mungkin menemuimu. Sudah kodratnya begitu. Kita saling berpapasan, tapi tidak pernah saling mengenali."

"Kenapa kamu terkunci dalam bahasa seperti itu, seakan-akan kamu percaya ada yang tidak bisa saling menyentuh, ada yang tak bisa saling mengenal di dunia ini?" tanyanya. "Kita tidak pernah bisa saling bertemu karena kamu punya kepercayaan seperti itu. Kepercayaan yang sia-sia."

Ketika kami menuruni batu-batu berkapur, hujan merembes ke dalam batu-batu berkapur itu, lalu mengucur kembali lewat batu-batu kerikil. Aku takjub melihat hujan yang bisa merembes. Aku takjub melihat hujan yang membuar arsitektur dari air. Dia yang telah membuat ruang menari. Dia yang telah memberi bentuk mati menjadi bentuk yang bergerak. Dia yang menghidupkan dan mengajak bermain kembali dengan memori-memori lama. Dia yang merajut kembali semua peristiwa dan lalu membiarkan kembali semua rajutan itu merembes ke dalam tanah sebagai air, melewati akar-akar rumput dan senyap. Dia yang memiliki keindahan yang tak tergantikan dan tak siapapun bisa memilikinya.

Aku tahu ia memang tak tersentuh. Aku tidak bisa menetes dan merembes. Aku terpisahkan oleh bahasa dan tubuhku sendiri yang telah menutup duniaku.

Hujan menatapku.

Matanya seperti ratusan jarum yang saling merajut.

"Aku ingin memberi warna pada dirimu," kataku.

"Sebentar lagi akan ada pelangi yang turun di lembah ini, membuat lingkaran tipis, seperti garis-garis tangan pada telapak bayi. Semua kupu-kupu menganggap pelangi itu adalah ibu mereka."

Aku memeluk bahu hujan. Air menetes di telapak tanganku. Terus menetes. Suara hujan yang jatuh di atas sebuah batu, menciptakan suara ketukan yang padat dan konstan. Hujan yang deras turun di kepalaku membuat mataku seperti dipenuhi oleh tangisan yang datang dari luar diriku. Mataku seperti berada di dunia yang lain, dunia dari tangisan yang datang dari luar. Aku tahu mataku tidak menangis. Tidak ada air mata. Aku yakin memang tidak ada air mata. Mataku meyakinkan diriku berkali-kali, ini bukan hujan, ini tangisan yang datang dari luar. Mataku seperti telah meninggalkan tubuhku di lembah itu, karena keyakinannya bahwa ini bukan hujan, melainkan tangisan dari luar. Tubuhku tidak bodoh, dan tidak perlu membuktikan lagi bahwa ini hujan.

Hujan lalu menepuk bahuku. Air mengucur deras di kepalaku yang botak. "Hei, tolong, jangan main-main seperti ini. Jangan mempermainkan kepalaku yang botak dengan hujanmu. Jangan memain-mainkan jantung dan ginjalku. Kamu tidak bisa merembes ke dalam pikiranku walau kepalaku botak. Aduh jangan kurang ajar, dong. Nanti aku lempar kamu dengan kepalaku."

Aku mengeluarkan payung dari tas punggungku. Aku juga mengeluarkan jas hujan dan memakainya. Suara hujan membuat bunyi ketukan lain di atas atap payungku. Bunyi ketukannya membuatku yakin tidak akan ada bahaya yang datang dari atas.

***

HUJAN turun semakin deras. Kini aku duduk di atas sebuah batu lengkap dengan payung dan jas hujanku. Daun-daun kacang di lembah itu terus bergetar tertimpa air hujan. Getarannya membuat jejak-jejak yang aneh lewat gelombang-gelombang yang bergerak halus ke arah jempol kakiku. Aku merasa seperti bisa keluar dari tubuhku sendiri.

Tubuhku tiba-tiba menjadi sibuk, berbenah membereskan banyak hal. Aku mulai tak percaya aku sedang duduk, mengenakan jas hujan dan memegang payung. Aku mulai tak yakin dengan mata dan telingaku. Tapi tubuhku ternyata tidak bisa keluar. Ada yang macet di dalam, mampet. Tubuhku tidak memiliki pintu untuk keluar. Aku berusaha menjebolnya. Hujan turun semakin deras, merembes lewat pori-pori tubuhku. Tubuhku mulai banjir. Aku merasakan seperti ada tanggul yang akan jebol dalam tubuhku karena banjir yang besar itu. Tubuhku tiba-tiba meledak, seperti rajutan karet yang meledak.

***

AKU membersihkan serpihan-serpihan daging di bantal tidurku. Sebagian serpihan itu menempel di kelambu. Sinar matahari menerobos lewat kaca jendela kamar tidurku. Hujan sudah menungguku di teras depan. Kami berjanji untuk pergi berjalan ke sebuah candi hari ini.

Lalu aku keluar dengan payung.

"Kenapa kamu memakai payung?'' tanyanya

"Kenapa aku tidak boleh memakai payung?'' aku balik bertanya.

"Karena aku merasa kamu seperti membawa peti mati di atas kepalamu," katanya.

"Peti mati apa?'' tanyaku.

"Peti mati untukku," jawabnya.

"Peti mati untuk hujan?" tanyaku.

"Hujan di dalam peti mati," tegasnya.

"Ini hanya payung," jawabku. "Kamu tidak mungkin bisa terkubur di dalam payung."

"Ah, duniamu tetap terkunci dalam bahasa," kilahnya.

"Tidak. Bahasa hanya kata-kata, lalu kalimat, lalu titik, atau koma."

"Tidak. Kalian telah mengunci dunia kalian di dalam bahasa."

"Siapa yang kamu maksud dengan kalian?"

Hujan lalu merebut payungku, seperti mematahkan kaki kursi yang tumbuh di kepalaku.

Lalu hujan bergelayut di telapak tanganku. Lalu menetes dan membuat kalung di leherku. Lalu bergelayut di daun-daun bambu dan membuat percikan di lantai terasku. Lalu kami tertidur dalam pelukan yang penuh oleh warna hijau. Lalu daun-daun kacang di lembah itu, yang membuat malam dari suara-suara serangga, saling bercerita tentang sekuntum bunga yang belum pernah tumbuh sebelumnya di lembah itu. (*)